Zona Dekat Malaysia Ditanami Sawit, Dekat Indonesia Dipenuhi Rumah
Menengok Sebatik, Daerah Paling Utara Kalimantan: Sosial-Keamanan (4-Habis)
Gonjang-ganjing konflik Malaysia dengan Kesultanan Sulu dari Filipina, tidak meresahkan masyarakat Sebatik yang berbatasan langsung dengan negeri jiran itu. Bahkan mereka masih sempat berinteraksi dengan masyarakat Tawau seperti biasa.
BAHARUNSYAH, Sebatik
HANITA (35) tampak santai memindahkan barang dagangan miliknya yang dibeli dari Kota Tawau, Sabah. Mulai dari cemilan, minyak goreng, hingga bahan makanan jenis sembako bisa ia dapatkan dengan mudah di sana. Harganya pun bervariasi, mulai dari mentega dengan harga sekitar RM 2 (setara Rp 6.258, dengan kurs RM 1 = Rp 3.129) per satuan, sampai cemilan seharga RM 5 (Rp 15.645) per karung.
Hanita mengaku pergi ke Tawau setiap seminggu sekali. Rasa takut dan khawatir sedikit pun tidak tergambar dari wajahnya. Sementara, seluruh media ramai memberitakan konflik “serbuan” warga Sulu karena berdampak pada kehidupan masyarakat perbatasan. Yang lebih radikal, salah satu pemberitaan menyebut konflik Malaysia dengan Kesultanan Sulu membuat masyarakat Sebatik harus meninggalkan kampung halaman karena alasan keamanan.
Begitulah, masyarakat Sebatik tetap santai menyikapinya. Transaksi ekonomi tetap berjalan seperti biasa. “Tidak ada, itu informasi bohong. Kami di sini tidak ada masalah, malah menjalin hubungan yang baik sejak lama. Karena toh hubungan kami dengan mereka (warga Tawau, Red) seperti saudara sebab sama-sama membutuhkan,” kata Camat Sebatik Tengah, Harman.
Ia pun menampakkan raut heran dengan pemberitaan selama ini. Harman bahkan menjelaskan salah satu cara memasuki perdagangan dan interaksi antara kedua belah pihak juga bisa dilakukan melalui jalur sungai. Menurutnya, hal demikian baru bisa dilakukan bila air sungai dalam keadaan pasang.
Simbiosis mutualisme melalui jalur tersebut sudah terbilang lama. Alasan ini cukup rasional. Sebab, Tawau menyediakan hasil produksi yang dibutuhkan untuk dikonsumsi masyarakat Sebatik.
Tidak percaya begitu saja, Kaltim Post pun mencoba bercengkerama dengan masyarakat setempat menanyakan perihal konflik Malaysia-Sulu. Sebagian menanggapinya dengan serius dan menjelaskan hingga rinci. Sebagian lagi malah tersenyum, bahkan terkesan cuek.
Dugaan bahwa warga Sulu yang terdesak menyusup ke Sebatik juga tidak benar. Tutur seorang warga, jika benar terjadi, sudah tentu tertangkap lebih dulu oleh polisi perbatasan. Bahkan andaikata mereka tetap lolos dari pantauan polisi dan kejaran tentara Malaysia, kemudian menyeberang secara ilegal, identitas mereka pun akan cepat diketahui. Pasalnya, sebagian besar penduduk Sebatik menggunakan bahasa dengan logat Sulawesi dan hampir tidak ditemukan menggunakan logat Melayu.
Perjalanan pun berlanjut ketika Kaltim Post bersama Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) menyambangi pos TNI di tapal batas Indonesia-Malaysia.
Ada tiga tapal batas di sana dan masing-masing dijaga oleh TNI. Pos yang kami kunjungi adalah di Kecamatan Sebatik Tengah. Salah satu anggota TNI yang bertugas saat itu membenarkan masyarakat Sebatik paling sering lalu-lalang melewati tapal perbatasan.
“Ada juga yang dari negara Malaysia, tapi jumlahnya tidak banyak. Itu pun tidak sampai menetap,” beber Henry D, anggota TNI yang mendapat giliran jaga pos.
Sayang, ia tidak tahu atas dasar apa warga Malaysia tersebut berani melewati garis kedaulatan negara yang dianggap sakral tersebut. Sebagian warga menyebut mereka sekadar berdagang, sebagian lagi menyebut mereka memiliki kebun. Henry membeberkan warga Sebatik pun ada pula yang memiliki kebun di luar teritori negara.
ZONA BEBAS
Satu hal yang mesti diketahui oleh publik. Sejauh 500 meter dari tapal batas tersebut merupakan zona bebas perbatasan atau free zone. Artinya, area tersebut bukan masuk wilayah Indonesia, bukan pula kedaulatan Malaysia. Dengan kata lain, seluruh aset yang berada di dalamnya bebas dikelola kedua belah pihak.
“Ya, lebih banyak cemburu sosialnya sih. Kalau masyarakat kita berkebun di zona bebas berdekatan Malaysia, mereka (warga Malaysia, Red) tidak repot. Tapi, kalau mereka membangun rumah atau kebun di zona bebas dekat Indonesia, masyarakat di sini pasti ribut,” ungkap Henry D.
Pemandangan seperti ini merupakan hal biasa bagi masyarakat perbatasan. Hanya yang membedakan adalah jenis perkebunan yang dikembangkan.
Misalnya, di zona bebas perbatasan dekat Malaysia lebih didominasi perkebunan sawit. Sementara di zona bebas perbatasan terdekat Indonesia dengan berat hati harus dikatakan hampir jarang upaya perkebunan. Melainkan dipenuhi permukiman penduduk.
Namun, upaya pembangunan permukiman penduduk seperti ini patut diapresiasi, khususnya kepada pemerintah. Pasalnya dengan dibangunnya permukiman, meskipun di daerah zona bebas perbatasan, harapannya dapat membendung arus pembangunan Malaysia.
“Lho ini justru bagus. Jadi kalau Malaysia gencar ekspansi pembangunan, kita sudah punya filternya,” kata reporter TVRI, Bambang Sugito, yang ikut dalam rombongan. (*/zal/k1)
Sumber : kaltimpost.co.id
Gonjang-ganjing konflik Malaysia dengan Kesultanan Sulu dari Filipina, tidak meresahkan masyarakat Sebatik yang berbatasan langsung dengan negeri jiran itu. Bahkan mereka masih sempat berinteraksi dengan masyarakat Tawau seperti biasa.
BAHARUNSYAH, Sebatik
HANITA (35) tampak santai memindahkan barang dagangan miliknya yang dibeli dari Kota Tawau, Sabah. Mulai dari cemilan, minyak goreng, hingga bahan makanan jenis sembako bisa ia dapatkan dengan mudah di sana. Harganya pun bervariasi, mulai dari mentega dengan harga sekitar RM 2 (setara Rp 6.258, dengan kurs RM 1 = Rp 3.129) per satuan, sampai cemilan seharga RM 5 (Rp 15.645) per karung.
Hanita mengaku pergi ke Tawau setiap seminggu sekali. Rasa takut dan khawatir sedikit pun tidak tergambar dari wajahnya. Sementara, seluruh media ramai memberitakan konflik “serbuan” warga Sulu karena berdampak pada kehidupan masyarakat perbatasan. Yang lebih radikal, salah satu pemberitaan menyebut konflik Malaysia dengan Kesultanan Sulu membuat masyarakat Sebatik harus meninggalkan kampung halaman karena alasan keamanan.
Begitulah, masyarakat Sebatik tetap santai menyikapinya. Transaksi ekonomi tetap berjalan seperti biasa. “Tidak ada, itu informasi bohong. Kami di sini tidak ada masalah, malah menjalin hubungan yang baik sejak lama. Karena toh hubungan kami dengan mereka (warga Tawau, Red) seperti saudara sebab sama-sama membutuhkan,” kata Camat Sebatik Tengah, Harman.
Ia pun menampakkan raut heran dengan pemberitaan selama ini. Harman bahkan menjelaskan salah satu cara memasuki perdagangan dan interaksi antara kedua belah pihak juga bisa dilakukan melalui jalur sungai. Menurutnya, hal demikian baru bisa dilakukan bila air sungai dalam keadaan pasang.
Simbiosis mutualisme melalui jalur tersebut sudah terbilang lama. Alasan ini cukup rasional. Sebab, Tawau menyediakan hasil produksi yang dibutuhkan untuk dikonsumsi masyarakat Sebatik.
Tidak percaya begitu saja, Kaltim Post pun mencoba bercengkerama dengan masyarakat setempat menanyakan perihal konflik Malaysia-Sulu. Sebagian menanggapinya dengan serius dan menjelaskan hingga rinci. Sebagian lagi malah tersenyum, bahkan terkesan cuek.
Dugaan bahwa warga Sulu yang terdesak menyusup ke Sebatik juga tidak benar. Tutur seorang warga, jika benar terjadi, sudah tentu tertangkap lebih dulu oleh polisi perbatasan. Bahkan andaikata mereka tetap lolos dari pantauan polisi dan kejaran tentara Malaysia, kemudian menyeberang secara ilegal, identitas mereka pun akan cepat diketahui. Pasalnya, sebagian besar penduduk Sebatik menggunakan bahasa dengan logat Sulawesi dan hampir tidak ditemukan menggunakan logat Melayu.
Perjalanan pun berlanjut ketika Kaltim Post bersama Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) menyambangi pos TNI di tapal batas Indonesia-Malaysia.
Ada tiga tapal batas di sana dan masing-masing dijaga oleh TNI. Pos yang kami kunjungi adalah di Kecamatan Sebatik Tengah. Salah satu anggota TNI yang bertugas saat itu membenarkan masyarakat Sebatik paling sering lalu-lalang melewati tapal perbatasan.
“Ada juga yang dari negara Malaysia, tapi jumlahnya tidak banyak. Itu pun tidak sampai menetap,” beber Henry D, anggota TNI yang mendapat giliran jaga pos.
Sayang, ia tidak tahu atas dasar apa warga Malaysia tersebut berani melewati garis kedaulatan negara yang dianggap sakral tersebut. Sebagian warga menyebut mereka sekadar berdagang, sebagian lagi menyebut mereka memiliki kebun. Henry membeberkan warga Sebatik pun ada pula yang memiliki kebun di luar teritori negara.
ZONA BEBAS
Satu hal yang mesti diketahui oleh publik. Sejauh 500 meter dari tapal batas tersebut merupakan zona bebas perbatasan atau free zone. Artinya, area tersebut bukan masuk wilayah Indonesia, bukan pula kedaulatan Malaysia. Dengan kata lain, seluruh aset yang berada di dalamnya bebas dikelola kedua belah pihak.
“Ya, lebih banyak cemburu sosialnya sih. Kalau masyarakat kita berkebun di zona bebas berdekatan Malaysia, mereka (warga Malaysia, Red) tidak repot. Tapi, kalau mereka membangun rumah atau kebun di zona bebas dekat Indonesia, masyarakat di sini pasti ribut,” ungkap Henry D.
Pemandangan seperti ini merupakan hal biasa bagi masyarakat perbatasan. Hanya yang membedakan adalah jenis perkebunan yang dikembangkan.
Misalnya, di zona bebas perbatasan dekat Malaysia lebih didominasi perkebunan sawit. Sementara di zona bebas perbatasan terdekat Indonesia dengan berat hati harus dikatakan hampir jarang upaya perkebunan. Melainkan dipenuhi permukiman penduduk.
Namun, upaya pembangunan permukiman penduduk seperti ini patut diapresiasi, khususnya kepada pemerintah. Pasalnya dengan dibangunnya permukiman, meskipun di daerah zona bebas perbatasan, harapannya dapat membendung arus pembangunan Malaysia.
“Lho ini justru bagus. Jadi kalau Malaysia gencar ekspansi pembangunan, kita sudah punya filternya,” kata reporter TVRI, Bambang Sugito, yang ikut dalam rombongan. (*/zal/k1)
Sumber : kaltimpost.co.id