Tak Punya RS, Lima Dokter Layani Lebih 40 Ribu Warga

Tak Punya RS, Lima Dokter Layani Lebih 40 Ribu Warga
Menengok Sebatik, Daerah Paling Utara Kalimantan: Kesehatan (3)

Kaltim - Jika sakit di Pulau Sebatik, Nunukan, siap-siap saja berdoa. Selain belum punya rumah sakit, tenaga dokter pun minim. Satu-satunya asa mendapat pengobatan hanya pada tiga puskesmas, itu pun dengan perlengkapan seadanya

Perbincangan antara Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) Frederik Bid dan dr Jaya Mu’alimin di ruang tunggu Hotel Queen, Sebatik, itu memang terbilang singkat. Cukup lima menit. Namun, pokok diskusi segera didapat. Pulau ini sangat memerlukan rumah sakit demi menunjang pelayanan kesehatan.

Jangan heran bila warga setempat menyebut rumah sakit ibarat emas yang dinanti-nanti keberadaannya. Sebab, mimpi masyarakat Sebatik sesungguhnya tidak rumit. Bisa berobat tanpa perlu repot ke Tawau, Malaysia, atau kota di luar pulau saja, bagi mereka sudah cukup.

Sayang, untuk melayani kebutuhan tersebut, baru bisa ditopang tiga unit pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang tersebar di tiga kecamatan. Yakni, puskesmas pembantu (pustu) di Desa Setabu, Kecamatan Sebatik Barat, serta di Desa Sungai Nyamuk, Kecamatan Sebatik Timur. Sedangkan, puskesmas induk berada di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah.

Kepada Kaltim Post, andai sedang sakit di Pulau Sebatik, seorang warga “merekomendasikan” agar berobat ke Puskemas Aji Kuning.

Di sini, fasilitas medis khusus tanggap darurat memang terpenuhi. Mulai dari tabung oksigen hingga lemari pendingin untuk menyimpan obat jenis vaksin tersedia. Ruangan pasien pun agak mirip dengan unit gawat darurat (UGD) di rumah sakit pada umumnya. Pasien yang berobat atau sekadar cek kesehatan setiap hari bisa tertampung 10 orang.

Namun, jangan terkecoh. Pada awal tahun 2013 saja, tabung oksigen tak pernah digunakan. Pun dengan perlengkapan lain seperti lemari (pendingin) penyimpanan obat. “Listriknya enggak kuat, Mas,” ucap Kepala Puskemas Induk Aji Kuning, dr Astri Sulistiarini.

Menurut Astri, selain listrik, obat pun masih sulit didapat, kecuali obat rekomendasi pemerintah saja jenis generik. Selain itu, masyarakat lebih memilih berobat di Kota Tawau karena akses yang dekat.

Pernah suatu hari dr Astri melayani pasien bersalin. Namun, karena tidak didukung peralatan memadai, pasien terpaksa direkomendasikan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nunukan. Namun, si pasien justru memilih ke Tawau.

“Katanya lebih dekat, cukup 15 menit menuju Tawau. Sedangkan kalau ke Nunukan hampir satu jam,” jelas dr Astri.

Tenaga dokter pun demikian. Jumlah dokter umum masih bisa dihitung dengan jari, yakni lima orang. Tiga di Sungai Nyamuk, dan dua di Sebatik Tengah. Lima orang itu harus melayani 40.320 jiwa di pulau ini!

Itulah ironi di pulau yang katanya akan diusung sebagai kotamadya jika Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sudah terbentuk.

Tidak heran jika dr Jaya Mu’alimin yang ikut rombongan BPKP2DT selalu menyampaikan betapa pentingnya peran rumah sakit bagi masyarakat Sebatik. Meskipun kami sudah berada di dalam hotel untuk beristirahat, pernyataan itu selalu diulang.

Bukan sekadar rumah sakit. Sebatik juga memerlukan dokter bermental “baja” alias tahan banting, khususnya dalam hal pendapatan. Bagaimana tidak, untuk insentif saja, dokter di Sebatik hanya mendapat Rp 2 juta per tiga bulan. Mereka tidak mau menyebut gaji per bulan. Yang jelas, angkanya kecil karena mengikuti anggaran daerah.

Kalau angka Rp 2 juta tersebut disanding dengan kebutuhan tinggal di kota sebenarnya sah-sah saja. Tapi, di daerah terpencil seperti Sebatik? Itu belum tentu cukup untuk ongkos transportasi laut sebagai akses utama menuju Nunukan. Selain itu, terkadang para dokter terpaksa menggunakan kocek pribadi untuk membayar obat pasiennya.

“Karena daerah Sebatik bukan daerah prioritas, dokter yang statusnya masih magang pasti enggan ke mari,” kata dr Astri Sulistiarini.

PILIH DIPASUNG

Tidak tersedianya rumah sakit memang menyulitkan masyarakat untuk berobat. Tak ayal, sebagian warga masih menggunakan cara tradisional dalam berobat. Misalkan saja Dewi (21), warga Kecamatan Sebatik Tengah yang mengidap kelainan jiwa. Bukannya dirawat di rumah sakit, pihak keluarga masih menggunakan cara tidak manusiawi: dipasung dengan cara kaki dirantai.

Ketika Kaltim Post berkunjung ke rumah pasien, baru beberapa meter dari rumah, teriakan sudah menyambut kedatangan kami. Rupanya itu suara Dewi.

“Aku ini enggak gila, masak aku disiksa terus, dipukul terus…” teriaknya dari balik ruangan.

Ani, kakak Dewi, mengaku terpaksa menggunakan cara pasung kepada adik bungsunya tersebut. Sebab, menurut dia, Dewi selalu kabur. Bahkan pernah menyemplungkan diri ke laut. “Capek kami, Mas, terpaksa kami pasung. Kami juga sudah beli obat dari Nunukan, tapi tidak dimakan juga,” keluh Ani.

Konon, ini pemasungan orang pertama di Pulau Sebatik. Camat Sebatik Tengah, Harman, sampai terheran-heran dengan pilihan warganya tersebut.

Namun, reaksi dia berbeda dengan dr Jaya Mu’alimin, yang memang sudah terbiasa dengan lingkungan sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa Atma Husada, Samarinda. “Saya sudah dengar dari BPKP2DT. Makanya saya bawakan obat suntik untuk menenangkan si pasien. Setiap bulan akan saya pantau perkembangannya,” janji dia.

Mengenai keberadaan pasien sakit jiwa tersebut, ia tetap mengulang pernyataan yang sama, yakni tidak tersedianya fasilitas rumah sakit. “Coba kalau ada rumah sakit, pasien tidak perlu jauh-jauh ke Nunukan,” ujarnya.

Bambang Sugito, reporter TVRI yang ikut menyambangi Dewi menyatakan, adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan rumah sakit.

“Tapi, sebentar lagi Sebatik akan jadi kotamadya jika Kalimantan Utara terbentuk. Jadi, pembangunan rumah sakit tinggal menunggu waktu saja. Tenang saja, masyarakat Sebatik pasti sehat,” tuturnya.

Sumber: kaltimpost.co.id
Next Post Previous Post