Jelajah Perbatasan Sebatik (3) Di Dadaku Garuda Perutku Malaysia
SEBATIK, - Mungkin akibat pertemuan arus itu, oleng-kemoleng speedboat terasa makin kuat, hampir semua penumpang sudah mengenakan baju pelampung, seorang bocah sedang menumpahkan isi perutnya langsung ke laut, sementara seorang ibu manula terlonjak tinggi kemudian terhempas ke tempat duduk yang beralaskan busa tipis itu, wajahnya terlihat pucat, mulutnya terus komat-kamit, berdzikir. Rekan yang masih muda dari Kaltaranews, terlihat santai bahkan senyum-senyum saja, padahal baru kali itu dia naik speedboat,“Saya pura-pura saja berani, Pak padahal saya sangat takut dan cemas,” bisiknya seraya mendekatkan mulutnya ke telinga penulis.
Pengalaman diatas speedboat SBE di laut Celebes (Laut Sulawesi) siang itu mengingatkan penulis ketika melintasi jalan berlubang-lubang di sepanjang Lintas Sumatera tepatnya di kawasan Sumatera Selatan menggunakan sebuah truk. Lubang jalan yang lebar dan dalamnya bisa sebesar kubangan kerbau itu menyiksa pantat penulis sampai memar hingga perjalanan berakhir di Lubuklinggau Sumatera Selatan, maka begitu pulalah yang penulis rasakan dalam perjalanan dengan speedboat melintas laut sepanjang jalur Tarakan – Sebatik, sehingga penulis memilih berdiri saja di SBE, biar tidak memar lagi.
Lima belas menit lagi kami akan sandar di Dermaga Sebatik yang oleh masyarakat Kaltara lebih dikenal sebagai Sungai Nyamuk.
“Kami tidak menyebutnya Sebatik, tapi Sungai Nyamuk, memang itulah namanya!” ujar ibu setengah baya yang mengaku bernama Zainab asal Bugis tapi sudah 22 tahun tinggal di Sebatik. Ia mempersilahkan Kaltaranews berkunjung ke desanya di Sungai Pancang. Sungai Pancang termasuk Sebatik Utara, “Ditempat kami rupiah kurang, kami sampai Sungai Limau pegang ringgit,” lanjutnya sambil memperat pegangan karena tiba-tiba speedboat oleng ke kiri kemudian terhentak ke kanan.
Menurut Zainab, keseharian mereka sungguh sangat tergantung kepada “sebelah” (istilah mereka menyebut Tawau), “Saya dan warga lain sehari-hari belanja ke sebelah, semua beli disana, mulai dari beras, gas, lauk pauk, pokoknya semua. Tidak ke Tarakan atau Nunukan, selain jauh jatuhnya mahal sekali,” celotehnya. Seorang pria 40-an semula ikut senyum-senyum melihat gaya Zainab bicara. Tapi kemudian tiba-tiba dia ikut nimbrung, “Memang begitu, kalau tidak ada sebelah, yang kita sengsaralah. Pokoknya perut kita ya dipelihara ‘Sebelah’ (baca: Tawau, Sabah-Malaysia). Mungkin itu sebabnya mereka di Sebatik punya istilah: di dadaku Garuda, di perutku Malaysia...amboiii
Ungkapan ‘pedih’ itu terlontar seringan kapas, tak ada beban dibelakangnya sungguh ironis. Dulu kita bangga dengan kata merdeka atau mati, berdiri diatas kaki sendiri, lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai, lalu daripada berputih mata, lebih baik mati berputih tulang...kemana gerangan hilangnya?
Dalam kajian akademis oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, digambarkan kondisi kehidupan masyarakat Sebatik yang sangat khas sebagai daerah perbatasan Indonesia – Malaysia, Borderland millieu kedua wilayah tersebut di bentuk oleh perkembangan ekonomi yang sangat kontras antara kedua negara, kedekatan geografis dan keterikatan secara etnis dan budaya penduduk di kedua sisi perbatasan. Konsekuensi langsung dari keadaan ini adalah tingginya orientasi penduduk wilayah Sebatik terhadap Malaysia hampir di segala bidang baik ekonomi, sosial, maupun budaya. Hal itu bisa dilihat misalnya dari kurang dan minimnya fasilitas kesehatan di Sebatik menyebabkan persoalan kegawatan akan selalu merujuk pada fasilitas rumah sakit di Tawau, demikian juga dengan kebutuhan sehari-hari juga dipenuh dari Tawau, karena untuk mendatangkan dari wilayah lain dari Indonesia seperti Nunukan, Tarakan, Balikpapan dsb, harganya akan jauh lebih mahal karena mahalnya ongkos transportasi. Apakah disini letak kesalahannya sehingga pameo di dadaku Garuda, perutku Malaysia terus menjadi sesuatu yang biasa di perbatasan. (jrd/kal1)
Sumber : KaltaraNews
Pengalaman diatas speedboat SBE di laut Celebes (Laut Sulawesi) siang itu mengingatkan penulis ketika melintasi jalan berlubang-lubang di sepanjang Lintas Sumatera tepatnya di kawasan Sumatera Selatan menggunakan sebuah truk. Lubang jalan yang lebar dan dalamnya bisa sebesar kubangan kerbau itu menyiksa pantat penulis sampai memar hingga perjalanan berakhir di Lubuklinggau Sumatera Selatan, maka begitu pulalah yang penulis rasakan dalam perjalanan dengan speedboat melintas laut sepanjang jalur Tarakan – Sebatik, sehingga penulis memilih berdiri saja di SBE, biar tidak memar lagi.
Lima belas menit lagi kami akan sandar di Dermaga Sebatik yang oleh masyarakat Kaltara lebih dikenal sebagai Sungai Nyamuk.
“Kami tidak menyebutnya Sebatik, tapi Sungai Nyamuk, memang itulah namanya!” ujar ibu setengah baya yang mengaku bernama Zainab asal Bugis tapi sudah 22 tahun tinggal di Sebatik. Ia mempersilahkan Kaltaranews berkunjung ke desanya di Sungai Pancang. Sungai Pancang termasuk Sebatik Utara, “Ditempat kami rupiah kurang, kami sampai Sungai Limau pegang ringgit,” lanjutnya sambil memperat pegangan karena tiba-tiba speedboat oleng ke kiri kemudian terhentak ke kanan.
Menurut Zainab, keseharian mereka sungguh sangat tergantung kepada “sebelah” (istilah mereka menyebut Tawau), “Saya dan warga lain sehari-hari belanja ke sebelah, semua beli disana, mulai dari beras, gas, lauk pauk, pokoknya semua. Tidak ke Tarakan atau Nunukan, selain jauh jatuhnya mahal sekali,” celotehnya. Seorang pria 40-an semula ikut senyum-senyum melihat gaya Zainab bicara. Tapi kemudian tiba-tiba dia ikut nimbrung, “Memang begitu, kalau tidak ada sebelah, yang kita sengsaralah. Pokoknya perut kita ya dipelihara ‘Sebelah’ (baca: Tawau, Sabah-Malaysia). Mungkin itu sebabnya mereka di Sebatik punya istilah: di dadaku Garuda, di perutku Malaysia...amboiii
Ungkapan ‘pedih’ itu terlontar seringan kapas, tak ada beban dibelakangnya sungguh ironis. Dulu kita bangga dengan kata merdeka atau mati, berdiri diatas kaki sendiri, lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai, lalu daripada berputih mata, lebih baik mati berputih tulang...kemana gerangan hilangnya?
Dalam kajian akademis oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, digambarkan kondisi kehidupan masyarakat Sebatik yang sangat khas sebagai daerah perbatasan Indonesia – Malaysia, Borderland millieu kedua wilayah tersebut di bentuk oleh perkembangan ekonomi yang sangat kontras antara kedua negara, kedekatan geografis dan keterikatan secara etnis dan budaya penduduk di kedua sisi perbatasan. Konsekuensi langsung dari keadaan ini adalah tingginya orientasi penduduk wilayah Sebatik terhadap Malaysia hampir di segala bidang baik ekonomi, sosial, maupun budaya. Hal itu bisa dilihat misalnya dari kurang dan minimnya fasilitas kesehatan di Sebatik menyebabkan persoalan kegawatan akan selalu merujuk pada fasilitas rumah sakit di Tawau, demikian juga dengan kebutuhan sehari-hari juga dipenuh dari Tawau, karena untuk mendatangkan dari wilayah lain dari Indonesia seperti Nunukan, Tarakan, Balikpapan dsb, harganya akan jauh lebih mahal karena mahalnya ongkos transportasi. Apakah disini letak kesalahannya sehingga pameo di dadaku Garuda, perutku Malaysia terus menjadi sesuatu yang biasa di perbatasan. (jrd/kal1)
Sumber : KaltaraNews