Referendum pernah diadakan tahun 1969 di Papua Barat, untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia.
Anggota DPRD Nunukan asal Pulau Sebatik Muhammad Saleh mengatakan, sejauh ini belum ada upaya warga di Pulau Sebatik untuk meminta referendum. Menurutnya, ungkapan pada spanduk tersebut hanya luapan emosi, yang kemungkinan dilakukan kelompok kelompok yang pro pemekaran Kabupaten Nunukan.
"Saya kira bukan referendum tetapi ini hanya letupan semangat yah," ujar politisi Partai Amanat Nasional ini.
Saleh menegaskan tidak menghendaki adanya referendum. Secara pribadi ia tidak menghendaki adanya referendum, meskipun aspirasi itu dianggap sebagai sikap atau pendapat yang sah sah saja. Perlu mengambil sisi positif dari desakan warga yang berharap segera terbentuknya Kota Sebatik di pulau yang berbatasan antara Indonesia dan Malaysia itu.
"Seperti itu masih jauhlah. Saya kira bukan aspirasi masyarakat. Bahwa ini adalah letupan letupan emosional masyarakat, dari kelompok masyarakat di era demokrasi kekinian. Tetapi ini suatu warning yang harus direspon secepatnya supaya rencana pemekaran ini dibahas," ujarnya.
Saleh mengaku tetap menghormati proses yang dijalankan pemerintah provinsi dan pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri untuk membentuk daerah otonom di perbatasan Republik Indonesia dan Malaysia.
Ia meminta masyarakat setempat bersabar dan perlu mengikuti mekanisme yang mesti dilalui.
"Memang beberapa bulan yang lalu Gubernur Kaltim sudah presentasi didepan Komisi II DPR RI. Kewenangan kita sudah jauh berjalan. Ini sudah sampai ke provinsi kemudian dari provinsi ke pusat," ujarnya.
Ia juga berharap, proses pementukan Kota Sebatik yang sudah bergulir di pusat mendapatkan pengawalan dari Pemkab Nunukan, DPRD Nunukan ataupun dari masyarakat.
"Supaya proaktif memantau ini. Dan itu terbuka di dalam era reformasi ini," ujarnya.
Sumber : TribunNews.com
#DOB